Muslim Berfilsafat Liberal?

muslim berfilsafat

Modernis.co, Malang – Pertanyaan dari judul tersebut beranjak dari beberapa anggapan masyarakat mengenai orang yang mempelajari dan bergelut dalam bidang filsafat bahwa mereka dapat dipastikan  berpikiran liberal.

Terlebih lagi anggapan masyarakat yang ditorehkan kepada para pemikir liberal atau orang-orang yang menekuni filsafat dan belajar di luar negeri yang melampaui batas. Bahwa mereka sampai harus menjual iman, tak sedikit pula mereka memilih pindah keyakinan dan menuhankan akal pikiran.

Anggapan tersebut patut kita kritisi dan tidak dipercayai secara cuma-cuma. Karena orang yang bijak/berfilsafat adalah orang yang berpikiran luas, ia dapat mengondisikan dirinya di posisi orang lain dan memahami situasinya. Orang bijak/berfilsafat adalah orang yang dapat menerima pendapat orang lain dengan lapang. Maka yang menjadi dasar pertanyaan untuk memahami apakah muslim yang berfilsafat adalah liberal, kita harus menelaah terlebih dahulu apa itu filsafat dan apa itu liberal?

Dalam buku Pengantar Filsafat Alam, karya Drs. Hamzah Abbas mengatakan:  Arti kata Filsafat berasal dari kata Yunani, yaitu Filosofia. Filo berarti cinta dan Sofia yaitu bijaksana. Apabila digabungkan menjadi cinta kepada kebijaksanaan, dengan maksud keingintahuan seseorang terhadap suatu hal secara mendalam dan luas. Dalam buku ini dijelaskan pula, sinonim filsafat dalam bahasa Arab yaitu al falsafah ma’nahu al hikmah.

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) makna hikmah berarti kebijaksanaan, makna yang mendalam. Maka dapat ditarik kesimpulan bahwa filsafat atau hikmah atau cinta kebijaksanaan adalah berpikir secara mendalam. Dan setiap orang yang berfilsafat adalah orang yang berpikir mendalam untuk mencari makna yang tersirat dari sesuatu dan untuk berkata dan bertindak dengan cinta juga bijaksana.

Berdalih dari novel filsafat berjudul Tapak Sabda karya Fauz Noor. Sejarah telah mengukir filsuf teragung di seantero bumi ini ialah Rasul kita, Muhammad SAW. Hal tersebut dilihat ketika beliau kerap menyendiri di Goa Hira sebelum kenabiannya.

Bukan untuk bersemedi, tak lain alasan menyendirinya karena kekagumannya terhadap alam semesta, proses penciptaannya dan siapa penciptanya, hingga datanglah Malaikat Jibril yang kemudian menjawab semua pertanyaannya.

Kegiatan menyendiri Rasul (memikirkan ciptaan Tuhan) dalam bahasa Arab dinamakan Tafakkur, juga merupakan salah satu ibadah mengingat dan mengagumi kebesaran-Nya. Muhammad kecil juga pernah bertanya kepada pamannya Abu Thalib siapa pencipta alam semesta, hal ini merupakan suatu proses berpikir yang dibuahkan oleh kecerdasan intelektual seseorang.

Sejarah juga tak luput mengukir kisah tentang Nabi Ibrahim, bapak para Nabi atau bapak Tauhid. Menurut Kitab Pembebasan yang ditulis oleh Eko Prasetyo, perjalanan Nabi Ibrahim dalam mengetahui Pencipta semesta yang diabadikan pula dalam Q.S Al An’am: 75-79.

Perjalanan inilah yang merupakan bukti proses berpikir mendalam Nabi Ibrahim dalam pengetahuan Sang Pencipta. Al Qur’an juga mengisahkan penghancuran berhala oleh Nabi Ibrahim (Q.S Al Anbiya: 58-65) dan ke lemah lembu tan menghadapi ayahnya sebagai salah satu penyembah berhala (Q.S Maryam: 42-45).

Dari sini dapat diketahui bahwa berfilsafat, dalam makna berpikir mendalam dengan cinta dan bijaksana, telah menjadi dasar para Nabi untuk mengetahui Sang Maha Besar Allah SWT. Berpikir mendalam dengan cinta dan bijaksana (berfilsafat) bagaikan akar sebuah pohon sebagai landasan iman seseorang kepada Tuhannya. Hal ini juga dilakukan oleh filsuf-filsuf muslim ternama, seperti Al Ghazali, Ibnu Sina, Ibnu Rusyd dan sebagainya.

Kemudian, apa alasan seseorang yang berfilsafat dikatakan liberal? Liberal menurut KBBI yaitu bersifat bebas, berpandangan bebas dan luas, maka di antara mereka yang beranggapan bahwa orang berfilsafat adalah liberal karena pemikirannya yang bebas.

Saya tidak berani berkata bahwa semua pendapat atau hasil pemikiran orang yang berfilsafat adalah benar semua (bukan termasuk Nabi, karena mereka dituntun sebagai utusan Allah SWT), maka dari itu termasuk tugas kita untuk terus mencari tahu dan kritis terhadap segala hal.

Kembali merujuk pada sebuah novel filsafat Tapak Sabda oleh Fauz Noor yang menjelaskan keterkaitan antara Din Islam dan filsafat. Din bermakna tunduk, sedangkan Islam yaitu pasrah.

Maka seorang Muslim yang beragama Islam yang berfilsafat, yang cinta bijaksana, yang berpikir mendalam mencari makna yang tersirat haruslah menundukkan pikirannya pasrah kepada Tuhan Allah SWT. Dalam proses berpikir dan hasil pikirannya tidak keluar dari maqashid syariah sebagai dasar tujuan Islam yang memanusiakan manusia.

Akal pikiran dan hati yang berarti iman haruslah satu kesatuan, tidak keluar dari koridor Islam. Inilah berpikir yang Din Islam, tunduk dengan kepatuhan dan kepasrahan Total kepada Allah SWT. Sebagaimana kisah Ibrahim yang Tenggelam dalam pikirannya mengasumsikan bahwa Tuhan adalah Bintang, Bulan dan Matahari. Karena obyek yang di tuju pikirannya adalah Tuhan dia berhasil menyimpulkan bahwa Tuhan adalah yang Menciptakan bintang, bulan dan matahari.

Sungguh apik sistematisasi pikirannya, dari yang kecil hingga yang paling besar, dan mencapai batas pada Yang Maha Besar, yang tak mampu di jangkau nalar dan pikiran Manusia. Dalam lanjutkan kisahnya dia berdoa, kalau Engkau tidak memberikan Hikmah kepadaku, niscaya aku termasuk orang-orang yang sesat dan merugi. Lihatlah bagaimana Hikmah meliputi Ibrahim AS selanjutnya dan lihatlah bagaimana Hikmah yang dia capai dan menjadi landasan Ke Tauhidinya.

Oleh: Ayda (Aktivis IMM Tamaddun FAI UMM)

editor
editor

salam hangat

Related posts

Leave a Comment